Geliat Gereja
Dunia Pinggiran
Konsistori: Paus Fransiskus saat membuka konsistori sebelum pelantikan 19
kardinal baru
Paus Fransiskus dengan jelas menunjukkan perhatian pada Gereja di negara
berkembang melalui konsistori pengangkatan cardinal baru. seolah ia menggeser
fokus dan lokus dari pusat tradisi Gereja di Eropa kepinggiran dunia yang
miskin.
Empat tahun silam, 12 Januari 2010, gempa bumi meluluh-lantakkan negara
kecil di Amerika Tengah, Haïti. Lebih dari 200 ribu nyawa melayang dan sekitar
satu juta penduduk kehilangan tempat tinggal. Namun, tak terduga, tepat pada
hari peringatan tragedi kemanusiaan itu, salah satu negara termiskin di dunia
ini dianugerahi seorang kardinal. Paus Fransiskus mengangkat Uskup Les Cayes,
Haïti, Mgr Chibly Langlois sebagai kardinal. Ia tercatat sebagai kardinal Haïti
yang pertama sepanjang se jarah.
“Penunjukkan ini memperlihatkan betapa dekat dan perhatian Paus Fransiskus
dengan umat Katolik di Haï ti,” ungkap Kardinal Langlois, seperti dilansir EWTN
(23/2). Hal serupa terjadi di St Lucia, sebuah negara kecil di Kepulauan
Karibia yang belum pernah punya seorang kardinalpun sepanjang sejarahnya. Meski
Uskup Emeritus Castries, St Lucia, Mgr Kelvin Edward Felix diangkat pada usia non-voting,
peristiwa ini besar maknanya bagi umat St Lucia. Non-voting ialah
sebutan bagi kardinal yang berusia lebih dari 80 tahun, yang telah kehilangan
hak untuk ikut memilih Paus dalam konklaf. Istilah ini berantonim dengan
elektor, yakni kardinal berusia di bawah 80 tahun dan berhak ikut konklaf.
Anomali Pilihan
Sementara di Burkina Faso, estafet ke kardinalan sempat terputus sejak 4
Juni 2000 kala Kardinal Paul Zoungrana MAfr wafat. Setelah 14 tahun tanpa
kardinal, kini Uskup Agung Ouaga dougou, Burkina Faso, Mgr Philippe Ouédrao go
melanjutkan tongkat estafet itu sebagai kardinal elektor.
Begitupun yang terjadi di Nicaragua, Pantai Gading, Korea Selatan, dan
Chile. Empat negara ini sebelumnya punya seorang kardinal kecuali Chile dua
kardinal. Namun status mereka sudah non-voting. Itulah sebabnya mengapa
Fransiskus mengangkat masing-masing seorang kardinal baru bagi empat Negara
itu.
Lain halnya dengan Filipina. Pengangkatan kardinal baru dalam konsistori
perdana Fransiskus ini terkesan ‘keluarga pakem’ dan menyiratkan pesan yang
amat mendalam. Keuskupan Agung Cotabato, Mindano, Filipina Selatan tak pernah
muncul dalam sejarah menerima ‘topi merah’ sebutan untuk kardinal. Wilayah ini
masuk dalam bilangan daerah termiskin di Filipina yang juga sering terkena
dampak konflik dengan mayoritas muslim. Namun Uskup Agung Cotabato, Mgr Orlando
Beltran Quevedo OMI justru diangkat kardinal. Filipina pun kini punya empat
kardinal, dua elektor dan dua non-voting.
Anomali lain muncul dalam penunjukan Uskup Agung Perugia-Città della Pie
ve, Italia, Mgr Gualtiero Bassetti. Padahal dalam sejarah, gelar cardinal
biasanya jatuh pada Takhta Keuskupan Agung Venesia dan Turin. Bahkan dari garis
suksesi Takhta Venesia terbukti melahirkan tiga Paus selama abad XX, yakni:
Pius X, Yohanes XXIII dan Yohanes Paulus I. Anomali ini menjadi afirmasi
Fransiskus sebagai Paus kaum miskin dan menaruh hati pada Gereja di dunia
berkembang yang selama ini seolah luput dari mainstream Eropa.
Bergeser ke Selatan
Pengangkatan 19 kardinal baru ini tak sepenuhnya mengejutkan dunia
kekatolikan. Gerak-gerik Fransiskus sejak awal sudah mengindikasikan kemana
arah Gereja. Ia tidak mengutamakan gelar kardinal bagi pejabat teras Kuria
Roma. Hanya empat kardinal baru dari kalangan internal Kuria Roma. Selebihnya
berlatar belakang ordinaris wilayah dari berbagai penjuru dunia.
Konsistori kali ini mencomot pangeran gerejani dari 15 negara.
Konstelasinya pun amat beragam. Eropa menambah delapan kardinal dari Italia,
Jerman, Spanyol dan Inggris. Namun, Italia masih menyumbang lima cardinal
hingga total menjadi 51 kardinal, dengan 29 kardinal elektor. Amerika Utara
hanya satu kardinal dari Kanada, Uskup Agung Québec, Kanada, Mgr Gérald Cyprien
Lacroix ISPX. Amerika Serikat yang punya tiga Keuskupan Agung langganan
mendapat jatah ‘topi merah’, tak satupun diberikan: Keuskupan Agung Los
Angeles, Baltimore dan Philadelphia.
Justru Fransiskus memilih dua kardinal dari Haïti dan St Lucia, dua Negara
mini di Karibia; serta empat cardinal dari daerah asalnya, Amerika Latin.
Selain Chile, Brazil dan Nicaragua, ia mengangkat penggantinya di Keuskupan
Agung Buenos Aires, Argentina, Mgr Mario Aurelio Poli masuk dalam Kolegium
Kardinal. Sementara sisanya berasal dari Asia, Filipina dan Korea Selatan;
serta dari Afrika, Pantai Gading dan Burkina Faso.
Opsi pengangkatan kardinal ini sangat jelas menggeser tradisi Eropasentris
menjadi pemerataan. “Fransiskus jelas membuat banyak pilihan. Satu diantaranya
ialah menggeser fokus dan lokus perhatian dalam Gereja, dari pusat tradisional
kekuasaan menuju ke tempat-tempat yang ia pikir telah sekian lama diabaikan,”
jelas pengamat Vatikan, John Allen seperti dilansir npr.org (22/2).
Kolegium Kardinal
Konsistori ini mengubah konfigurasi Kolegium Kardinal. Kini tercatat, 218
kardinal yang terdiri dari 122 elektor dan 96 non-voting. Mereka terbagi
dalam 6 Kardinal-Uskup, 4 Kardinal-Patriakh yakni Kardinal Uskup yang
menggunakan tahkta kepatriakhannya sebagai gelar karena penghormatan akan
tradisi, 163 Kardinal-Imam, dan 45 Kardinal-Diakon. Sementara itu, dari 228
gelar tituler yang ada, hanya tersisa enam gelar diakonal yang lowong. Saat
ini, 218 kardinal itu berasal dari 68 negara, dengan persebaran: 23 negara di
Eropa dengan 116 kardinal, tiga negara Amerika Utara 27 kardinal, enam negara
Amerika Tengah 7 kardinal, delapan negara Amerika Latin 24 kardinal, 10 negara
Asia 21 kardinal, dua Negara Oceania empat kardinal, dan 16 negara Afrika 19
kardinal.
Berdasarkan data itu, kardinal di luar Eropa dan Amerika Utara berjumlah 75
kardinal: 44 elektor dan 31 non-voting. Sedangkan Eropa dan Amerika
Utara masih berjumlah 143 kardinal: 78 elektor dan 65 non-voting. Meski
jumlahnya masih menunjukkan ketimpangan jika dibandingkan dengan persebaran
populasi 1,2 milyar umat Katolik di luar Eropa yang mencapai dua pertiganya,
langkah Fransiskus menunjukkan suatu gerak kearah Gereja di dunia berkembang.
Sementara dari asal tarekat, Salesian (SDB) menempati ranking teratas
dengan tujuh kardinal: empat elektor dan tiga non-voting. Disusul
Fransiskan (OFM) dengan enam kardinal: tiga elektor dan tiga non-voting.
Jesuit (SJ) punya lima kardinal: satu elektor yakni Kardinal Julius
Darmaatmadja SJ yang sebentar lagi sudah masuk jajaran non-voting, dan
empat non-voting. Dominikan (OP) memiliki dua elektor dan satu non-voting.
Masing-masing dengan dua kardinal ialah Oblat (OMI) dua elektor dan Claretian
(CMF) dua non-voting. Sementara itu, Kapusin (OFMCap), Redemptoris
(CSsR), Lazaris (CM), Sulpician (PSS), Scalabri nian (CS), Cistercian (OCist),
Allepian (OMM), dan Institut Sekulir St Pius X, masing-masing punya seorang
kardinal elektor. Lalu Dehonian (SCJ), Agustinian (OSA), Studite (MSU) dan
P.Schönstatt, masing-masing punya seorang kardinal non-voting.
Selebihnya berlatar belakang dari imam diosesan.
Tak Terbendung
Langgan penggembalaan Fransiskus yang kian jelas mengarah ke Gereja Selatan
ini seolah tak terbendung. Meski di sisi lain, pembenahan birokrasi Kuria Roma
dan reformasi Bank Vatikan (IOR) masih terus berlanjut. Ia hanya butuh delapan
bulan untuk dinobatkan menjadi “Person of The Year 2013” versi TIME.
Lagi-lagi, ia meresmikan pendirian Sekretariat untuk Urusan Ekonomi di Kuria
Roma dan mengangkat Kardinal George Pell sebagai prefeknya, hanya selang sehari
usai Misa bersama dengan kardinal baru di Basilika St Petrus Vatikan (24/2).
Menanggapi gerak-gerik dan opsi Fransiskus seputar konsistori perdananya,
Kardinal Cormac Murphy- O’Connor mengatakan seperti di lansir CNA
(23/2), “Ia (Paus – Red) mengatakan, saya ingin mendengar suara kaum
papa. Beberapa kardinal telah mengatakan, yakni para kardinal yang datang dari
negara-negara miskin ini. Mereka pasti akan terbiasa dengan aneka pertemuan
seperti ini dan berusaha untuk bisa bercerita. Tentu saja dengan lebih banyak
sentuhan pengalaman real. Bahkan melihat mereka bisa bergabung pun, itu
sudah suatu langkah yang luar biasa!”
R.B.E. Agung Nugroho
- See more at:
http://www.hidupkatolik.com/2014/04/25/geliat-gereja-dunia-pinggiran#sthash.HvqF9oxb.dpuf
Geliat Gereja Dunia PinggiranGeliat Gereja Dunia Pinggiran
Jumat, 25 April 2014 15:37 WIB
[www.pixmule.com]
Konsistori: Paus Fransiskus saat membuka konsistori sebelum pelantikan 19 kardinal baru
Artikel Lainnya
HIDUPKATOLIK.com
- Paus Fransiskus dengan jelas menunjukkan perhatian pada Gereja di
negara berkembang melalui konsistori pengangkatan cardinal baru. seolah
ia menggeser fokus dan lokus dari pusat tradisi Gereja di Eropa
kepinggiran dunia yang miskin.
Empat
tahun silam, 12 Januari 2010, gempa bumi meluluh-lantakkan negara kecil
di Amerika Tengah, Haïti. Lebih dari 200 ribu nyawa melayang dan
sekitar satu juta penduduk kehilangan tempat tinggal. Namun, tak
terduga, tepat pada hari peringatan tragedi kemanusiaan itu, salah satu
negara termiskin di dunia ini dianugerahi seorang kardinal. Paus
Fransiskus mengangkat Uskup Les Cayes, Haïti, Mgr Chibly Langlois
sebagai kardinal. Ia tercatat sebagai kardinal Haïti yang pertama
sepanjang se jarah.
“Penunjukkan
ini memperlihatkan betapa dekat dan perhatian Paus Fransiskus dengan
umat Katolik di Haï ti,” ungkap Kardinal Langlois, seperti dilansir EWTN
(23/2). Hal serupa terjadi di St Lucia, sebuah negara kecil di
Kepulauan Karibia yang belum pernah punya seorang kardinalpun sepanjang
sejarahnya. Meski Uskup Emeritus Castries, St Lucia, Mgr Kelvin Edward
Felix diangkat pada usia non-voting, peristiwa ini besar maknanya bagi umat St Lucia. Non-voting
ialah sebutan bagi kardinal yang berusia lebih dari 80 tahun, yang
telah kehilangan hak untuk ikut memilih Paus dalam konklaf. Istilah ini
berantonim dengan elektor, yakni kardinal berusia di bawah 80 tahun dan
berhak ikut konklaf.
Anomali Pilihan
Sementara
di Burkina Faso, estafet ke kardinalan sempat terputus sejak 4 Juni
2000 kala Kardinal Paul Zoungrana MAfr wafat. Setelah 14 tahun tanpa
kardinal, kini Uskup Agung Ouaga dougou, Burkina Faso, Mgr Philippe
Ouédrao go melanjutkan tongkat estafet itu sebagai kardinal elektor.
Begitupun
yang terjadi di Nicaragua, Pantai Gading, Korea Selatan, dan Chile.
Empat negara ini sebelumnya punya seorang kardinal kecuali Chile dua
kardinal. Namun status mereka sudah non-voting. Itulah sebabnya mengapa Fransiskus mengangkat masing-masing seorang kardinal baru bagi empat Negara itu.
Lain
halnya dengan Filipina. Pengangkatan kardinal baru dalam konsistori
perdana Fransiskus ini terkesan ‘keluarga pakem’ dan menyiratkan pesan
yang amat mendalam. Keuskupan Agung Cotabato, Mindano, Filipina Selatan
tak pernah muncul dalam sejarah menerima ‘topi merah’ sebutan untuk
kardinal. Wilayah ini masuk dalam bilangan daerah termiskin di Filipina
yang juga sering terkena dampak konflik dengan mayoritas muslim. Namun
Uskup Agung Cotabato, Mgr Orlando Beltran Quevedo OMI justru diangkat
kardinal. Filipina pun kini punya empat kardinal, dua elektor dan dua non-voting.
Anomali
lain muncul dalam penunjukan Uskup Agung Perugia-Città della Pie ve,
Italia, Mgr Gualtiero Bassetti. Padahal dalam sejarah, gelar cardinal
biasanya jatuh pada Takhta Keuskupan Agung Venesia dan Turin. Bahkan
dari garis suksesi Takhta Venesia terbukti melahirkan tiga Paus selama
abad XX, yakni: Pius X, Yohanes XXIII dan Yohanes Paulus I. Anomali ini
menjadi afirmasi Fransiskus sebagai Paus kaum miskin dan menaruh hati
pada Gereja di dunia berkembang yang selama ini seolah luput dari mainstream Eropa.
Bergeser ke Selatan
Pengangkatan
19 kardinal baru ini tak sepenuhnya mengejutkan dunia kekatolikan.
Gerak-gerik Fransiskus sejak awal sudah mengindikasikan kemana arah
Gereja. Ia tidak mengutamakan gelar kardinal bagi pejabat teras Kuria
Roma. Hanya empat kardinal baru dari kalangan internal Kuria Roma.
Selebihnya berlatar belakang ordinaris wilayah dari berbagai penjuru
dunia.
Konsistori
kali ini mencomot pangeran gerejani dari 15 negara. Konstelasinya pun
amat beragam. Eropa menambah delapan kardinal dari Italia, Jerman,
Spanyol dan Inggris. Namun, Italia masih menyumbang lima cardinal hingga
total menjadi 51 kardinal, dengan 29 kardinal elektor. Amerika Utara
hanya satu kardinal dari Kanada, Uskup Agung Québec, Kanada, Mgr Gérald
Cyprien Lacroix ISPX. Amerika Serikat yang punya tiga Keuskupan Agung
langganan mendapat jatah ‘topi merah’, tak satupun diberikan: Keuskupan
Agung Los Angeles, Baltimore dan Philadelphia.
Justru
Fransiskus memilih dua kardinal dari Haïti dan St Lucia, dua Negara
mini di Karibia; serta empat cardinal dari daerah asalnya, Amerika
Latin. Selain Chile, Brazil dan Nicaragua, ia mengangkat penggantinya di
Keuskupan Agung Buenos Aires, Argentina, Mgr Mario Aurelio Poli masuk
dalam Kolegium Kardinal. Sementara sisanya berasal dari Asia, Filipina
dan Korea Selatan; serta dari Afrika, Pantai Gading dan Burkina Faso.
Opsi
pengangkatan kardinal ini sangat jelas menggeser tradisi Eropasentris
menjadi pemerataan. “Fransiskus jelas membuat banyak pilihan. Satu
diantaranya ialah menggeser fokus dan lokus perhatian dalam Gereja, dari
pusat tradisional kekuasaan menuju ke tempat-tempat yang ia pikir telah
sekian lama diabaikan,” jelas pengamat Vatikan, John Allen seperti
dilansir npr.org (22/2).
Kolegium Kardinal
Konsistori ini mengubah konfigurasi Kolegium Kardinal. Kini tercatat, 218 kardinal yang terdiri dari 122 elektor dan 96 non-voting.
Mereka terbagi dalam 6 Kardinal-Uskup, 4 Kardinal-Patriakh yakni
Kardinal Uskup yang menggunakan tahkta kepatriakhannya sebagai gelar
karena penghormatan akan tradisi, 163 Kardinal-Imam, dan 45
Kardinal-Diakon. Sementara itu, dari 228 gelar tituler yang ada, hanya
tersisa enam gelar diakonal yang lowong. Saat ini, 218 kardinal itu
berasal dari 68 negara, dengan persebaran: 23 negara di Eropa dengan 116
kardinal, tiga negara Amerika Utara 27 kardinal, enam negara Amerika
Tengah 7 kardinal, delapan negara Amerika Latin 24 kardinal, 10 negara
Asia 21 kardinal, dua Negara Oceania empat kardinal, dan 16 negara
Afrika 19 kardinal.
Berdasarkan data itu, kardinal di luar Eropa dan Amerika Utara berjumlah 75 kardinal: 44 elektor dan 31 non-voting. Sedangkan Eropa dan Amerika Utara masih berjumlah 143 kardinal: 78 elektor dan 65 non-voting.
Meski jumlahnya masih menunjukkan ketimpangan jika dibandingkan dengan
persebaran populasi 1,2 milyar umat Katolik di luar Eropa yang mencapai
dua pertiganya, langkah Fransiskus menunjukkan suatu gerak kearah Gereja
di dunia berkembang.
Sementara dari asal tarekat, Salesian (SDB) menempati ranking teratas dengan tujuh kardinal: empat elektor dan tiga non-voting. Disusul Fransiskan (OFM) dengan enam kardinal: tiga elektor dan tiga non-voting. Jesuit (SJ) punya lima kardinal: satu elektor yakni Kardinal Julius Darmaatmadja SJ yang sebentar lagi sudah masuk jajaran non-voting, dan empat non-voting. Dominikan (OP) memiliki dua elektor dan satu non-voting. Masing-masing dengan dua kardinal ialah Oblat (OMI) dua elektor dan Claretian (CMF) dua non-voting.
Sementara itu, Kapusin (OFMCap), Redemptoris (CSsR), Lazaris (CM),
Sulpician (PSS), Scalabri nian (CS), Cistercian (OCist), Allepian (OMM),
dan Institut Sekulir St Pius X, masing-masing punya seorang kardinal
elektor. Lalu Dehonian (SCJ), Agustinian (OSA), Studite (MSU) dan
P.Schönstatt, masing-masing punya seorang kardinal non-voting. Selebihnya berlatar belakang dari imam diosesan.
Tak Terbendung
Langgan
penggembalaan Fransiskus yang kian jelas mengarah ke Gereja Selatan ini
seolah tak terbendung. Meski di sisi lain, pembenahan birokrasi Kuria
Roma dan reformasi Bank Vatikan (IOR) masih terus berlanjut. Ia hanya
butuh delapan bulan untuk dinobatkan menjadi “Person of The Year 2013”
versi TIME. Lagi-lagi, ia meresmikan pendirian Sekretariat untuk
Urusan Ekonomi di Kuria Roma dan mengangkat Kardinal George Pell sebagai
prefeknya, hanya selang sehari usai Misa bersama dengan kardinal baru
di Basilika St Petrus Vatikan (24/2).
Menanggapi
gerak-gerik dan opsi Fransiskus seputar konsistori perdananya, Kardinal
Cormac Murphy- O’Connor mengatakan seperti di lansir CNA (23/2), “Ia (Paus – Red)
mengatakan, saya ingin mendengar suara kaum papa. Beberapa kardinal
telah mengatakan, yakni para kardinal yang datang dari negara-negara
miskin ini. Mereka pasti akan terbiasa dengan aneka pertemuan seperti
ini dan berusaha untuk bisa bercerita. Tentu saja dengan lebih banyak
sentuhan pengalaman real. Bahkan melihat mereka bisa bergabung pun, itu sudah suatu langkah yang luar biasa!”
R.B.E. Agung Nugroho
Uang Gereja dan Gereja Uang
Jumat, 21 Juni 2013 10:37 WIB
[NN]
Artikel Lainnya
HIDUPKATOLIK.com
- Cinta akan uang adalah akar segala kejahatan (1Tim 6:10). Kasus
Pendeta Abraham Alex Tanuseputra, pendiri Gereja Bethani, mencuat
beberapa waktu lalu. Ia dilaporkan ke polisi atas dugaan penggelapan
uang Rp 4,7 triliun. “Saya sudah konsultasi sampai Mabes Polri. Dari
data yang saya sampaikan ke penyidik, dugaan ke Pendeta Abraham Alex,
tidak hanya penggelapan uang Gereja, tapi indikasi kuat pencucian uang,”
urai George Handiwiyanto, seorang advokat Kristen, 15/2.
Laporan yang tersebar luas di media massa Surabaya itu tentu mengguncang umat, khususnya jemaat Bethani. Mengapa George membawa kasus ini ke ranah hukum? “Uang jemaat itu untuk Tuhan, bukan untuk pribadi atau keluarga,” tegas George.
Kasus ini memicu polemik tentang perlu tidaknya umat memberi perpuluhan. Dalam doktrin Protestan, perpuluhan wajib karena dianggap sebagai persembahan umat bagi Tuhan. Tiap jemaat menyisihkan 10 persen penghasilannya bagi Gereja, selain berbagai sumbangan suka rela lainnya. Namun praktiknya, perpuluhan rentan disalahgunakan. Maklum, jumlahnya menggiurkan. Apalagi mayoritas jemaat Bethani adalah kelas menengah atas.
Apa yang bisa kita timba dari kasus ini? Iuran, sumbangan, dan perpuluhan yang nota bene merupakan uang Gereja, bisa mendorong sebuah Gereja hanya menjadi ‘Gereja uang’. Artinya, uang menjadi segala-galanya bagi Gereja itu karena banyak hal memang butuh uang. Akibatnya, Gereja hanya sibuk mengurusi uang, dan bukan memperhatikan keselamatan jiwa dan martabat jemaatnya.
Mencari dan mengelola keuangan secara benar dan transparan bagi hidup Gereja tidak keliru. Yang keliru ialah uang Gereja dikelola secara tidak benar dan tidak transparan, atau diselewengkan. Kasus ini bisa terjadi di Gereja manapun, termasuk Gereja Katolik. Janganmengira, Gereja Katolik bersih. Di Surabaya, pernah terjadi pencurian uang kolekte di sebuah paroki kaya. Si pencuri menggunakannya untuk membangun rumah dan menyekolahkan anaknya ke luar negeri. Namun, kasusnya diselesaikan secara diam-diam.
Penyelewengan uang dalam Gereja hanya akan membuat umat makin apatis. Ternyata, lembaga agama (Gereja) sama dengan para birokrat yang jago dan doyan korupsi. Lebih tragis lagi, nilai dan norma kebenaran, kebaikan, dan keadilan dijungkir balik. Batas antara yang baik dan yang jahat kian tak jelas. Ketidakpercayaan dan saling curiga merajalela.
Kondisi makin runyam, jika institusi Gereja yang semula dipercaya publik karena dianggap bersih, ternyata juga bobrok. Lalu ke mana kita harus mengadu? Boleh jadi, dalam kasus Bethani, kita hanya bisa mengadu pada Yesus.
Apa kira-kira pendapat Yesus menyangkut uang dan kekayaan? Dalam buku “Jesus Before Christianity, The Gospel of Liberation” (1980), Pastor Albert Nolan OP menulis: nafsu akan uang atau kekayaan sesungguhnya sangat bertentangan dengan usaha mencari Allah. Menurut Yesus, Allah dan kekayaan (mammon) merupakan dua entitas yang bertentangan. Orang kaya mustahil masuk dalam Kerajaan Surga, seperti seekor unta masuk dalam lubang jarum (Mrk 10:25 dst).
Sabda Yesus tentang uang atau kekayaan memang salah satu yang paling keras dalam Injil. Kebanyakan pastor, pendeta, dan umat kristiani zaman ini melunakkannya dengan menafsirkan sesuai trend selera hedonisme saat ini.
Yesus tak melarang orang menjadi kaya, tapi bersikap kritis terhadap kekayaan. Ia tak ingin kekayaan membuat orang atau Gereja berpaling dari Allah. Simak saja, ketika orang punya tabungan menumpuk atau asuransi ini dan itu, ada godaan merasa aman dan terjamin dengan harta. Tuhan pun dilupakan. Bahayanya, peran-Nya tak lagi diakui.
Bahaya itu bukan hanya level individu, tapi Gereja dan negara. Dalam buku “The End of Histroy and The Last Man” (1992), Fukuyama berpendapat, semangat Protestanisme Hebrais telah membuat negara Barat maju luar biasa. Namun bagi sastrawan Rusia Aleksander I. Solzhenitsyn, kekayaan itu telah membuat mereka meninggalkan Tuhan.
Akhirnya menurut Yesus, baik individu maupun Gereja harus mau meninggalkan kelekatan pada uang agar pantas menjadi agen keselamatan. Jika Gereja sama dengan perusahaan yang berorientasi uang, lebih baik jangan memakai nama Gereja lagi. ’
Tom Saptaatmaja
- See more at: http://www.hidupkatolik.com/2013/06/21/uang-gereja-dan-gereja-uang#sthash.YGcdAODo.dpufLaporan yang tersebar luas di media massa Surabaya itu tentu mengguncang umat, khususnya jemaat Bethani. Mengapa George membawa kasus ini ke ranah hukum? “Uang jemaat itu untuk Tuhan, bukan untuk pribadi atau keluarga,” tegas George.
Kasus ini memicu polemik tentang perlu tidaknya umat memberi perpuluhan. Dalam doktrin Protestan, perpuluhan wajib karena dianggap sebagai persembahan umat bagi Tuhan. Tiap jemaat menyisihkan 10 persen penghasilannya bagi Gereja, selain berbagai sumbangan suka rela lainnya. Namun praktiknya, perpuluhan rentan disalahgunakan. Maklum, jumlahnya menggiurkan. Apalagi mayoritas jemaat Bethani adalah kelas menengah atas.
Apa yang bisa kita timba dari kasus ini? Iuran, sumbangan, dan perpuluhan yang nota bene merupakan uang Gereja, bisa mendorong sebuah Gereja hanya menjadi ‘Gereja uang’. Artinya, uang menjadi segala-galanya bagi Gereja itu karena banyak hal memang butuh uang. Akibatnya, Gereja hanya sibuk mengurusi uang, dan bukan memperhatikan keselamatan jiwa dan martabat jemaatnya.
Mencari dan mengelola keuangan secara benar dan transparan bagi hidup Gereja tidak keliru. Yang keliru ialah uang Gereja dikelola secara tidak benar dan tidak transparan, atau diselewengkan. Kasus ini bisa terjadi di Gereja manapun, termasuk Gereja Katolik. Janganmengira, Gereja Katolik bersih. Di Surabaya, pernah terjadi pencurian uang kolekte di sebuah paroki kaya. Si pencuri menggunakannya untuk membangun rumah dan menyekolahkan anaknya ke luar negeri. Namun, kasusnya diselesaikan secara diam-diam.
Penyelewengan uang dalam Gereja hanya akan membuat umat makin apatis. Ternyata, lembaga agama (Gereja) sama dengan para birokrat yang jago dan doyan korupsi. Lebih tragis lagi, nilai dan norma kebenaran, kebaikan, dan keadilan dijungkir balik. Batas antara yang baik dan yang jahat kian tak jelas. Ketidakpercayaan dan saling curiga merajalela.
Kondisi makin runyam, jika institusi Gereja yang semula dipercaya publik karena dianggap bersih, ternyata juga bobrok. Lalu ke mana kita harus mengadu? Boleh jadi, dalam kasus Bethani, kita hanya bisa mengadu pada Yesus.
Apa kira-kira pendapat Yesus menyangkut uang dan kekayaan? Dalam buku “Jesus Before Christianity, The Gospel of Liberation” (1980), Pastor Albert Nolan OP menulis: nafsu akan uang atau kekayaan sesungguhnya sangat bertentangan dengan usaha mencari Allah. Menurut Yesus, Allah dan kekayaan (mammon) merupakan dua entitas yang bertentangan. Orang kaya mustahil masuk dalam Kerajaan Surga, seperti seekor unta masuk dalam lubang jarum (Mrk 10:25 dst).
Sabda Yesus tentang uang atau kekayaan memang salah satu yang paling keras dalam Injil. Kebanyakan pastor, pendeta, dan umat kristiani zaman ini melunakkannya dengan menafsirkan sesuai trend selera hedonisme saat ini.
Yesus tak melarang orang menjadi kaya, tapi bersikap kritis terhadap kekayaan. Ia tak ingin kekayaan membuat orang atau Gereja berpaling dari Allah. Simak saja, ketika orang punya tabungan menumpuk atau asuransi ini dan itu, ada godaan merasa aman dan terjamin dengan harta. Tuhan pun dilupakan. Bahayanya, peran-Nya tak lagi diakui.
Bahaya itu bukan hanya level individu, tapi Gereja dan negara. Dalam buku “The End of Histroy and The Last Man” (1992), Fukuyama berpendapat, semangat Protestanisme Hebrais telah membuat negara Barat maju luar biasa. Namun bagi sastrawan Rusia Aleksander I. Solzhenitsyn, kekayaan itu telah membuat mereka meninggalkan Tuhan.
Akhirnya menurut Yesus, baik individu maupun Gereja harus mau meninggalkan kelekatan pada uang agar pantas menjadi agen keselamatan. Jika Gereja sama dengan perusahaan yang berorientasi uang, lebih baik jangan memakai nama Gereja lagi. ’
Tom Saptaatmaja
Uang Gereja dan Gereja Uang
Jumat, 21 Juni 2013 10:37 WIB
[NN]
Artikel Lainnya
HIDUPKATOLIK.com
- Cinta akan uang adalah akar segala kejahatan (1Tim 6:10). Kasus
Pendeta Abraham Alex Tanuseputra, pendiri Gereja Bethani, mencuat
beberapa waktu lalu. Ia dilaporkan ke polisi atas dugaan penggelapan
uang Rp 4,7 triliun. “Saya sudah konsultasi sampai Mabes Polri. Dari
data yang saya sampaikan ke penyidik, dugaan ke Pendeta Abraham Alex,
tidak hanya penggelapan uang Gereja, tapi indikasi kuat pencucian uang,”
urai George Handiwiyanto, seorang advokat Kristen, 15/2.
Laporan yang tersebar luas di media massa Surabaya itu tentu mengguncang umat, khususnya jemaat Bethani. Mengapa George membawa kasus ini ke ranah hukum? “Uang jemaat itu untuk Tuhan, bukan untuk pribadi atau keluarga,” tegas George.
Kasus ini memicu polemik tentang perlu tidaknya umat memberi perpuluhan. Dalam doktrin Protestan, perpuluhan wajib karena dianggap sebagai persembahan umat bagi Tuhan. Tiap jemaat menyisihkan 10 persen penghasilannya bagi Gereja, selain berbagai sumbangan suka rela lainnya. Namun praktiknya, perpuluhan rentan disalahgunakan. Maklum, jumlahnya menggiurkan. Apalagi mayoritas jemaat Bethani adalah kelas menengah atas.
Apa yang bisa kita timba dari kasus ini? Iuran, sumbangan, dan perpuluhan yang nota bene merupakan uang Gereja, bisa mendorong sebuah Gereja hanya menjadi ‘Gereja uang’. Artinya, uang menjadi segala-galanya bagi Gereja itu karena banyak hal memang butuh uang. Akibatnya, Gereja hanya sibuk mengurusi uang, dan bukan memperhatikan keselamatan jiwa dan martabat jemaatnya.
Mencari dan mengelola keuangan secara benar dan transparan bagi hidup Gereja tidak keliru. Yang keliru ialah uang Gereja dikelola secara tidak benar dan tidak transparan, atau diselewengkan. Kasus ini bisa terjadi di Gereja manapun, termasuk Gereja Katolik. Janganmengira, Gereja Katolik bersih. Di Surabaya, pernah terjadi pencurian uang kolekte di sebuah paroki kaya. Si pencuri menggunakannya untuk membangun rumah dan menyekolahkan anaknya ke luar negeri. Namun, kasusnya diselesaikan secara diam-diam.
Penyelewengan uang dalam Gereja hanya akan membuat umat makin apatis. Ternyata, lembaga agama (Gereja) sama dengan para birokrat yang jago dan doyan korupsi. Lebih tragis lagi, nilai dan norma kebenaran, kebaikan, dan keadilan dijungkir balik. Batas antara yang baik dan yang jahat kian tak jelas. Ketidakpercayaan dan saling curiga merajalela.
Kondisi makin runyam, jika institusi Gereja yang semula dipercaya publik karena dianggap bersih, ternyata juga bobrok. Lalu ke mana kita harus mengadu? Boleh jadi, dalam kasus Bethani, kita hanya bisa mengadu pada Yesus.
Apa kira-kira pendapat Yesus menyangkut uang dan kekayaan? Dalam buku “Jesus Before Christianity, The Gospel of Liberation” (1980), Pastor Albert Nolan OP menulis: nafsu akan uang atau kekayaan sesungguhnya sangat bertentangan dengan usaha mencari Allah. Menurut Yesus, Allah dan kekayaan (mammon) merupakan dua entitas yang bertentangan. Orang kaya mustahil masuk dalam Kerajaan Surga, seperti seekor unta masuk dalam lubang jarum (Mrk 10:25 dst).
Sabda Yesus tentang uang atau kekayaan memang salah satu yang paling keras dalam Injil. Kebanyakan pastor, pendeta, dan umat kristiani zaman ini melunakkannya dengan menafsirkan sesuai trend selera hedonisme saat ini.
Yesus tak melarang orang menjadi kaya, tapi bersikap kritis terhadap kekayaan. Ia tak ingin kekayaan membuat orang atau Gereja berpaling dari Allah. Simak saja, ketika orang punya tabungan menumpuk atau asuransi ini dan itu, ada godaan merasa aman dan terjamin dengan harta. Tuhan pun dilupakan. Bahayanya, peran-Nya tak lagi diakui.
Bahaya itu bukan hanya level individu, tapi Gereja dan negara. Dalam buku “The End of Histroy and The Last Man” (1992), Fukuyama berpendapat, semangat Protestanisme Hebrais telah membuat negara Barat maju luar biasa. Namun bagi sastrawan Rusia Aleksander I. Solzhenitsyn, kekayaan itu telah membuat mereka meninggalkan Tuhan.
Akhirnya menurut Yesus, baik individu maupun Gereja harus mau meninggalkan kelekatan pada uang agar pantas menjadi agen keselamatan. Jika Gereja sama dengan perusahaan yang berorientasi uang, lebih baik jangan memakai nama Gereja lagi. ’
Tom Saptaatmaja
- See more at: http://www.hidupkatolik.com/2013/06/21/uang-gereja-dan-gereja-uang#sthash.YGcdAODo.dpufLaporan yang tersebar luas di media massa Surabaya itu tentu mengguncang umat, khususnya jemaat Bethani. Mengapa George membawa kasus ini ke ranah hukum? “Uang jemaat itu untuk Tuhan, bukan untuk pribadi atau keluarga,” tegas George.
Kasus ini memicu polemik tentang perlu tidaknya umat memberi perpuluhan. Dalam doktrin Protestan, perpuluhan wajib karena dianggap sebagai persembahan umat bagi Tuhan. Tiap jemaat menyisihkan 10 persen penghasilannya bagi Gereja, selain berbagai sumbangan suka rela lainnya. Namun praktiknya, perpuluhan rentan disalahgunakan. Maklum, jumlahnya menggiurkan. Apalagi mayoritas jemaat Bethani adalah kelas menengah atas.
Apa yang bisa kita timba dari kasus ini? Iuran, sumbangan, dan perpuluhan yang nota bene merupakan uang Gereja, bisa mendorong sebuah Gereja hanya menjadi ‘Gereja uang’. Artinya, uang menjadi segala-galanya bagi Gereja itu karena banyak hal memang butuh uang. Akibatnya, Gereja hanya sibuk mengurusi uang, dan bukan memperhatikan keselamatan jiwa dan martabat jemaatnya.
Mencari dan mengelola keuangan secara benar dan transparan bagi hidup Gereja tidak keliru. Yang keliru ialah uang Gereja dikelola secara tidak benar dan tidak transparan, atau diselewengkan. Kasus ini bisa terjadi di Gereja manapun, termasuk Gereja Katolik. Janganmengira, Gereja Katolik bersih. Di Surabaya, pernah terjadi pencurian uang kolekte di sebuah paroki kaya. Si pencuri menggunakannya untuk membangun rumah dan menyekolahkan anaknya ke luar negeri. Namun, kasusnya diselesaikan secara diam-diam.
Penyelewengan uang dalam Gereja hanya akan membuat umat makin apatis. Ternyata, lembaga agama (Gereja) sama dengan para birokrat yang jago dan doyan korupsi. Lebih tragis lagi, nilai dan norma kebenaran, kebaikan, dan keadilan dijungkir balik. Batas antara yang baik dan yang jahat kian tak jelas. Ketidakpercayaan dan saling curiga merajalela.
Kondisi makin runyam, jika institusi Gereja yang semula dipercaya publik karena dianggap bersih, ternyata juga bobrok. Lalu ke mana kita harus mengadu? Boleh jadi, dalam kasus Bethani, kita hanya bisa mengadu pada Yesus.
Apa kira-kira pendapat Yesus menyangkut uang dan kekayaan? Dalam buku “Jesus Before Christianity, The Gospel of Liberation” (1980), Pastor Albert Nolan OP menulis: nafsu akan uang atau kekayaan sesungguhnya sangat bertentangan dengan usaha mencari Allah. Menurut Yesus, Allah dan kekayaan (mammon) merupakan dua entitas yang bertentangan. Orang kaya mustahil masuk dalam Kerajaan Surga, seperti seekor unta masuk dalam lubang jarum (Mrk 10:25 dst).
Sabda Yesus tentang uang atau kekayaan memang salah satu yang paling keras dalam Injil. Kebanyakan pastor, pendeta, dan umat kristiani zaman ini melunakkannya dengan menafsirkan sesuai trend selera hedonisme saat ini.
Yesus tak melarang orang menjadi kaya, tapi bersikap kritis terhadap kekayaan. Ia tak ingin kekayaan membuat orang atau Gereja berpaling dari Allah. Simak saja, ketika orang punya tabungan menumpuk atau asuransi ini dan itu, ada godaan merasa aman dan terjamin dengan harta. Tuhan pun dilupakan. Bahayanya, peran-Nya tak lagi diakui.
Bahaya itu bukan hanya level individu, tapi Gereja dan negara. Dalam buku “The End of Histroy and The Last Man” (1992), Fukuyama berpendapat, semangat Protestanisme Hebrais telah membuat negara Barat maju luar biasa. Namun bagi sastrawan Rusia Aleksander I. Solzhenitsyn, kekayaan itu telah membuat mereka meninggalkan Tuhan.
Akhirnya menurut Yesus, baik individu maupun Gereja harus mau meninggalkan kelekatan pada uang agar pantas menjadi agen keselamatan. Jika Gereja sama dengan perusahaan yang berorientasi uang, lebih baik jangan memakai nama Gereja lagi. ’
Tom Saptaatmaja